Hujan informasi tentang Islam dalam sebulan ini kita bisa saksikan prosentasenya bahwa mayoritas pemberitaan adalah soal isu radikalisme, intoleran, dan terorisme (RAIT) hanya sedikit ulasan tentang kebijakan antara negeri Muslim dan tidak ada yang mengangkat perkembangan peradaban Islam. Perlu dicatat bahwa banyak fenomena yang yang mencuat di dunia tentang Muslimin mulai dari berita tentang olahraga tentang Asmahan Mansour yang mendobrak hijab dalam sepak bola. Atau yang baru-baru ini Muhammad Hafizh Syahrin yang menembus kelas moto GP kurang mendapat exposure media. Atau contoh lain seperti tokoh Muslim yang menjadi jendral militer usia 30 tahun Mullah Muhammad Yaqoob bin Mullah Muhammad Omar (amir Taliban) tidak pernah di expose sebagai tokoh milenial yang menumbangkan adidaya dunia (Amerika). Semua ini kita coba urai apa yang melatari media mainstream enggan atau hanya sebagai badal (sekedar melaksanakan) tugas jurnalistik.
Meski Muslimin di tempatkan oleh media sebagai dunia ke-3 secara peradaban, namun secara pemberitaan menjadi hal paling sexy untuk di jual. Sudah barang tentu yang dijual adalah radikalisme, intoleran, dan terorisme (RAIT). Hemat kami dalam melihat ini ada yang melatar belakangi penerbitan berita RAIT ialah (1) cara pandang Barat terhadap Islam, (2) backup politik yang memadai, (3) tidak perlu pakai kaidah logical fallacy, dan (4) tidak adanya media besar Islam. Ke empat alasan itu menurut kami yang menopang perwujudan media yang mau tidak mau dunia harus mengamini karena kalah modal. Kita coba lebih detailkan lagi poin diatas;
Media memang sebuah bisnis dan juga propaganda itu sudah menjadi hal lumrah karena selain penghidupan media ia juga harus memiliki karakter karya jurnalisnya namun yang disayangkan tentang objektivitas dan porsi yang sembrono. Tidak mengherankan akibat tradisi media mainstream yang sembrono terhadap kaum Muslimin di contoh oleh manusia di era sosial media sekarang.
Cara meniru pola media rakus seperti CNN adalah contoh tepat dimana informasi bisa diperdagangkan seperti halnya buzzer sekrang untuk ukuran isu regional. CNN besutan Ted Turner meroket karena ia selain membaca peluang bisnis ia juga mensuplai pemberitaan Islam sejak perang teluk sampai hari ini. Majalah Forbes mencatat kekayaan Turner mencapai US$ 2,2 miliar pada Februari 2018. Ketika era sosial media menyeruak dan kaum Muslimin mulai memainkan propaganda dan bisnis (media)nya mereka menyalahkan pola ini menganggap bahwa objektivitas dan porsi terlalu mengidentitas. Cara berpikir paradoks ini terus menerus menekan Muslimin.
Dari sini kita bisa melihat bahwa sekarang jika Muslimin terus menerus dijadikan sapi perah berbagai isu. Efek serius dari pemberitaan ini bukan hanya diss trust terhadap ulama dan media Islam, lebih besar lagi yaitu semakin terpukulnya politik Islam. Mengingat politik Islam baik yang melalui jalur demokrasi menuai titik pemecahan yang sulit dirajut dan yang diluar jalur demokrasi berat untuk menggapai wacana kolektif umat untuk bergerak secara sosial. Kiranya masjid-masjid yang banyak ini memberikan space (tempat) bagi media Islam mengembangkan pancaran dan skillnya. Terlebih mengingat paradigma infak yang terus-menerus berkutat pada event sosial jangka pendek yang kurang memberikan porsi lebih bagi pengembangan media Islam
By : Rulian Haryadi
By : Rulian Haryadi
By : Rulian Haryadi
By : Rulian Haryadi
By : Rulian Haryadi
By : Rulian Haryadi