Pasca masuknya Taliban di Kabul pada 15 Agustus 2021 kemarin breakingnews dimana-mana. Masuknya Taliban dengan sangat damai dan tanpa negosiasi menjadi sorotan yang berbeda, baik dari Taliban sendiri maupun bagi para pengamat. Berbalik dari tuduhan para pengamat dan gembong media Barat dua puluh tahun yang lalu yang menggambarkan Taliban sosok yang kejam nyatanya Taliban menunjukkan akhlak dan kemapanan intelektual memainkan politik saat penaklukan Kabul.
Afghanistan sendiri jika dilihat dari sumber komersial hanya berkutat pada jalur sutra, mineral bahan litium, dan beberapa perkembunan, sementara untuk perusahaan monster disana tidak ada yang menonjol bercokol mengeksplorasi tanah Afghansitan. Tapi mengapa Afghanistan masih begitu seksi sejak zaman Alexander the Great sampai masa kita sekarang persis seperti Mohammed Iqbal, yang menggambarkan Afghanistan sebagai “jantung Asia,” sementara Lord Curzon, salah satu raja muda Inggris paling terkenal di India, menyebutnya sebagai “kokpit Asia.”
Membangun perdamaian di Afghanistan adalah suatu hal yang sulit. Baik di era kerajaan, rezim komunis, maupun pasca perang Soviet 1979-1989. Pada 1991 para mujahidin kesulitan mentertibkan dan menjawab keinginan masyarakat yang berharap perdamaian dan kestabilan sosial. Taliban yang mencuat di tengah-tengah kerusakan sosial pasca perang Soviet. Ditambah perselisihan petinggi mujahidin antara Hekmatiyar dan Rabbani menambah cueknya pemerintah terhadap keamanan masyarakat.
Taliban datang dengan sangat menarik dengan cara Islam yang sangat klasik yaitu, dakwah kepada masyarakat jika ditolak maka datang ulama yang menasihatinya dan mendamaikan antar suku. Jika cara ini juga masih belum berhasil maka meminta dengan cara nahi munkar bii yaddin (mengambil alih dengan aksi). Cara ini terdengar simple namun efektif mengingat pada 1997 Taliban berhasil menguasai 90% wilayah.
Pada 2001 yang lalu saat pasukan Amerika menerbangkan roket-roketnya membrangus Imarah Islam Afghanistan. Ada perspektif lain yang menarik dibaca saat detik-detik porakporanda Kabul. Kita coba perluas bahasan dan meninggalkan paradigma bahwa Amerika datang untuk menangkap teroris yang tersimbolkan pada Osama bin Laden. Perspektif seperti ini perlu di luruskan. Padahal jika kita amati bahwa Amerika datang sebenarnya secara garis besar tidak ingin ada kebangkitan Islam. Bisa kita lihat dari para ilmuwan yang memprovokasi atas nama prediksi politik seperti Yoshihiro Francis Fukuyama yang menulis The End of History and the Last Man dan Samuel Huntington – Clash of Civilization Remaking World Order. Sangat mungkin kebijakan luar negeri AS menjadi tertuju pada kekuatan baru (Islam) pasca jatuhnya Soviet.
Seiring perjalanan Imarah Islam Afghanistan tidak serta merta mulus merangkul rakyat Afghanistan. Serangan pertama datang dari tokoh feminis terkemuka Zieba-Shorish Shamley yang membujuk banyak kelompok feminis AS untuk mempelopori kampanye tanda tangan untuk memobilisasi dukungan bagi perempuan Afghanistan. Upayanya membantu membujuk mantan Presiden Clinton untuk mengambil sikap lebih keras terhadap Taliban. Kedua dari dijatuhkannya sanksi pada Taliban pada bulan Desember 2000 dengan dikeluarkannya Resolusi Dewan Keamanan PBB 1333. Sanksi baru tersebut menyerukan embargo senjata terhadap Taliban, termasuk bantuan militer asing. Sebagai tuduhan bahwa Osama bin Laden membom pangkalan AS di Kenya. Ketiga serangan dari Aliansi Utara yang dipimpin kekutan militernya oleh tokoh mujahidin Ahmad Shah Mas’ud dan mantan militer zaman rezim komunis Abdul Rashid Dostam yang menolak seruan Imarah Islam Afghanistan. Keempat pukulan terberat bagi Imarah ialah peristiwa 11 September 2001. Dengan hal ini US merasa berhak bisa masuk ke Afghanistan atas nama war on teror.
Pada lingkup Asia kawasan sekitar Afghanistan yang merujuk pada gerak-gerik AS dan bekerjasama dengan pemberontak (Aliansi Utara) yang terus melawan Taliban. Ironisnya, banyak dukungan militer Aliansi Utara berasal dari negara-negara yang berpartisipasi dalam apa yang disebut kelompok kontak “Enam-Plus-Dua” (Pakistan, Iran, Uzbekistan, Cina, Turkmenistan. Pemasok utama Aliansi Utara adalah Iran dan Rusia, dengan peran sekunder dimainkan oleh Tajikistan, Uzbekistan (setidaknya hingga 1998), Turkmenistan, dan Kirgistan.
Moskow menyangkal bahwa pihaknya mempersenjatai pemberontak Afghanistan. Dalam sebuah wawancara dengan New York Times, Mas’ud mengatakan bahwa dia menerima banyak peralatannya dari mafia Rusia, bukan dari pemerintah Rusia. Namun, Rusia dilaporkan telah memberi Dostum 500 tank T-55 dan T-62 yang digunakan untuk melawan daerah- daerah yang menentang kekuasaannya. Rusia juga telah memasoknya dengan sejumlah besar rudal Frog 7 dan Luna M.8 Bantuan dari beberapa republik Asia Tengah telah menjadi sumber dukungan yang penting bagi Aliansi Utara. Presiden Uzbekistan Islam Karimov secara sembunyi-sembunyi mendukung sesama warga Uzbekistan. Negaranya telah memasok Aliansi Utara dengan tank, pesawat, dan personel teknis.
Praktis kekalahan Imarah Islam Afghanistan pada dua puluh tahun yang lalu adalah agenda global. Dunia benar-benar tersulut oleh ucapan Bush dan tidak adanya perlawanan media Islam karena keterbatasan teknologi. Hari ini dunia terbalik Imarah Islam Afghanistan kembali pada tampuk kekuasaan dengan 100% wilayah yang sebelumnya hanya 90% karena terganjal Aliansi Utara yang mengangkat senjata.
Referensi :
– Ahmed Rasyid, Militant Islam, Taliban, Oil and Fundamentalism in Central Asia, (US: Yale University Press 2010)
– Nasreen Ghufran, Taliban dan Keterlibatan Perang Sipil di Afghanistan, (Serang, Indonesia: Boomboxzine.net 2021)
– Nino Oktorino, Afghanistan 1979-89 Tentara Komunis VS Mujahidin, (Jakarta, Indonesia: Elex Media Komputindo 2020)
By : Albi Dwi Putra
By : Alby Dwi Putra
By : Rulian Haryadi
By : Rulian Haryadi
By : Muhammad Dyan
By : Rulian Haryadi